Sejarah, Isi, dan Dampak dari Perundingan Roem Royen

By | March 11, 2023

Berikut ini akan kami informasi lebih lengkapnya tentang perundingan Roem Royen, atau yang juga disebut dengan perjanjian Roem-Van Roijen. Perjanjian Roem Royen sendiri merupakan sebuah perjanjian yang dibuat antara Indonesia dengan Belanda.

Perundingan Roem Royen tersebut dimulai pada tanggal 14 April 1949, kemudian ditanda tangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Jakarta, tepatnya di hoyel Des Indes. Nama dari Perjnajian tersebut diambil dari kedua pemimpin delagasi, yakni Mohammad Roem dengan Herman Van Roijen.

Maksud dari pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa problem tentang kemerdekaan Indonesia sebelum terjadinya konferensi meja bundar di Den Haag di tahun yang sama.

Perundingan Roem Royen tersebut bisa dikatakan sangat alot, sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta.

Tujuannya tidak lain untuk mempertegas sikap Sri Sultan Hamengkubuwono IX terhadap pemerintah republik Indonesia di Yogyakarta. Yang mana Sultan Hamengkubuwono IX tersebut mengatakan bahwa Yogyakarta Is De Republiek Indonesie, yakni Yogyakarta Adalah Republik Indonesia.

Latar Belakang Perundingan Roem Royen Lengkap

Perundingan Roem Royen

Perlu untuk kita ketahui bersama, bahwa alasan terjadinya perjanjian atau pun perundingan Roem Royen tersebut adalah dikarenakan Belanda melakukan penyerangan ke Yogyakarta, yang mana pada saat itu menjadi pusat pemerintahan Indonesia.

Bahkan Belanda juga menahan pemimpin republik Indonesia. Hal tersebut juga dibarengi dengan adanya kencaman terhadap aksi Belanda dari dunia internasional. Kemudian dalam Agresi Militer II, Belanda juga menyatakan bahwasannya TNI sudah hancur lebur, sebab itu Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional, terlebih Amerika Serikat.

Perundingan Roem Royen ini sendiri seperti yang sudah kami bahas diawal, diselenggarakan di hotel Des Indes, Jakarta, tepatnya di tanggal 14 April hingga 7 Mei 1948.

Dalam hal tersebut ketua perwakilan dari pihak Indonesia adalah Ali Sastro Amijoyo, Moh. Roem, Dr. Leimena, Prof. Supomo, Ir. Juanda, dan Latuharhary sebagai anggotanya.

Sementara itu dari pihak Belanda sendiri diwakili oleh dr. J. H. Van Royen sebagai ketua dengan anggotanya yang terdiri atas Blom, dr. Gede, Jacob, dr. Van, dr. P. J. Koets, dr. Gieben, dan Van Hoogstratendan.

Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan oleh pihak Belanda mendapat kencaman keras dan respon dari Amerika Serikat juga Inggris, dan dewan PBB. Setelah mengamati serangan militer Belanda ini pada akhirnya PBB membentuk kewenangan KTN.

Dan sejak itulah KTN berganti jadi UNCI atau United Nations Commission For Indonesia yang diketuai oleh Merle Cochran. Merle Cochran ini berasal dari Amerika Serikat, ia juga mendapat bantuan dari Critchley yang berasal dari Australia dan Harremans dari Belgia.

Kemudian tepatnya di tanggal 23 Maret 1949 silam, pihak DK-PBB memberikan perintah kepada UNCI untuk menjadi penengah dari proses negosiasi yang terjadi antara pihak republik Indonesia dan Belanda.

Yang mana dalam perjanjian tersebut UNCI bertindak sebagai penengah yang diketuai oleh Merle Cochran. Lalu pada proses negosiasi selanjutnya posisi Indonesia kembali lagi diperkuat dengan hadirnya Drs. Moh. Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Penanda tanganan perjanjian atau perundingan dilakukan pada tanggal 7 Mei 1949, tepatnya di hotel Des Indes, Jakarta. Yang mana perjanjian tersebut diambil dari kedua pimpinan delegasi dari kedua belah pihak, yakni Mohammad Roem dengan Herman Van Royen.

Perjanjian atau perundingan Roem Royen benar – benar alot, sehingga perlu diperkuat oleh Drs. Moh. Hatta yang datang dari pengasingan di Bangka, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta.

Tujuan dari dibuatnya perundingan Roem Royen ini adalah untuk menyelesaikan konflik atau masalah yang terjadi antara republik Indonesia dengan Belanda setelah kemerdekaan Indonesia.

Inisiatif membawa masalah Indonesia dan Belanda merupakan saran dari komisi PBB untuk Indonesia yang bernama Merle Cochran dari Amerika Serikat seperti yang sudah kami bahas di atas.

Dengan terlaksananya perjanjian Roem Royen tersebut maka pihak Indonesia memiliki pendirian yang kuat bahwa pengembalian ibu kota pemerintah Indonesia ke kota Yogyakarta adalah langkah yang tepat untuk perundingan selanjutnya.

Informasi Jalannya Perjanjian Roem Royen

Perjanjian Roem Royen

Kami ingatkan lagi bahwa perundingan Roem Royen ini diawali pada tanggal 14 April 1948. Yang mana dalam perjanjian Roem Royen tersebut pihak Indonesia diwakili oleh Mohammad Roem dengan beberapa anggotanya, seperti Ali Sastro Amijoyo, Ir. Juanda, dr. Leimena, Prof. Supomo, dan Latuharhary. Sementara itu pihak Belanda sendiri diwakili oleh dr. J. Herman Van Royen dengan anggotanya diantaranya Blom, dr. P. J. Koets, dr. Van, Jacob, dr. Gieben, dan Van Hoogstratendan.

Kemudian untuk pihak penengahnya adalah UNCI atau United Nations Comission For Indonesia yang diketuai oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat. Perundingan Indonesia diperkuat dengan kehadiran Drs. Moh. Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Perjanjaian Roem Royen baru selesai pada tanggal 7 Mei tahun 1949 tepatnya di hotel Des Indes, Jakarta. Perundingan Roem Royen ini mulai ditanda tangani dan nama dari perundingan atau perjanjian tersebut kemudian diputuskan untuk diambil dari nama kedua pemimpin delegasi, yakni Mohammad Roem dari pihak Indonesia dan Herman Van Royen dari pihak Belanda.

Isi Perundingan Roem Royen Lengkap

isi perundingan Roem Royen

Dengan bersedianya pihak dari Indonesia dan pihak Belanda untuk bertemu di meja perundingan, menjadi suatu awal dari harapan yang baru. Hal tersebut tentu saja tidak lepas dari inisiatif dan peran penting serta komisi PBB untuk Indonesia (UNCI).

Dimana dalam Perjanjian tersebut pihak dari Indonesia sendiri tetap berpegang teguh, bahwasannya pengembalian pemerintah republik Indonesia ke Yogyakarta adalah satu – satunya jalan yang terbaik untuk bisa berlanjut ke perundingan yang berikutnya.

Sementara itu pihak dari Belanda juga menuntut untuk diberhentikannya perang gerilya yang dilakukan oleh republik Indonesia.

Setelah dilakukannya dialog yang panjang dan alot yang terjadi dikedua belah pihak, akhirnya di tanggal 7 Mei 1948 dicapailah sebuah persetujuan.

Yang isinya bahwa kedua belah pihak, antara Indonesia dengan Belanda ini telah sepakat dan menyanggupi untuk melaksanakan resolusi dewan keamanan PBB di tanggal 28 Januari 1949, dan disetujui di tanggal 23 Maret 1949.

Pernyataan dari pihak pemerintah republik Indonesia yang dibacakan ketua perwakilan Indonesia, yakni Mohammad Roem diantaranya sebagai berikut ini.

  • Dikeluarkannya perintah perhentian perang gerilya
  • Dikembalikannya pemerintahan republik Indonesia ke Yogyakarta
  • Angkatan bersenjata milik Belanda harus segera dihentikan dan menarik operasi militer serta membebaskan semua tahanan politik yang jadi tahanan Belanda
  • Pihak Belanda harus menyerahkan kedaulatan republik Indonesia secara utuh dan tanpa syarat
  • Pihak Belanda memberikan hak, kekuasaan, atau pun kewajiban kepada pihak Indonesia dan kedua belah pihak juga harus saling bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian serta menjaga keamanan dan ketertiban
  • Pihak Belanda ikut serta dalam konferensi meja bundar yang memiliki tujuan agar dapat mempercepat penyerahan kedaulatan pada republik Indonesia secara lengkap dan tanpa syarat

Dan di bawah ini adalah beberapa pernyataan delegasi Belanda yang dibaca dr. J. H. Van Royen yang berisi antara lain sebagai berikut.

  • Belanda setuju untuk memberikan pemerintah republik Indonesia kebebasan melakukan kewajibannya dalam satu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta
  • Belanda berikan kebebasan tanpa syarat kepada para pemimpin republik Indonesia juga tahanan politik lain yang sudah ditawan sejak tanggal 19 Desember 1948
  • Belanda setuju bahwasannya republik Indonesia akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat atau RIS
  • Setelah pemerintahan republik Indonesia kembali ke Yogyakarta, KMB akan segera diadakan di Den Haag secepatnya

Dari perundingan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan diantaranya sebagai berikut ini.

  • Semua angkatan militer Indonesia akan segera menghentikan aktifitas gerilya
  • Pemerintah republik Indonesia akan hadiri konfrensi meja bundar
  • Pemerintah republik Indonsia harus segera dikembalikan ke Yogyakarta
  • Semua militer bersenjata miliknya Belanda akan hentikan semua operasi militer dan bebaskan semua tahanan politik
  • Kedaulatan republik Indonesia diserahkan secara utuh tanpa syarat sesuai dengan sejarah perjanjian Renville di tahun 1948
  • Akan didirikannya persekutuan antara Belanda dengan Indonesia dengan dasar sukarela dan persamaan hak
  • Semua hak, kewajiban, dan kekuasaan yang jadi milik Indonesia akan diserahkan oleh Hindia Belanda

Pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan sebuah perundingan segitiga dibawah pengawasan komisi BPP yang dipimpin Christchley, antara republik Indonesia, Belanda, dan Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO). Dimana perjanjian tersebut hasilkan tiga keputusan, yakni.

  • Pihak Belanda lakukan pengembalian pemerintah republik Indonesia ke Yogyakarta segera, dan hal tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949
  • Perintah untuk memberhentikan gerilya akan diumumkan setelah pemerintahan republik Indonesia ada di Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 1949
  • Konferensi meja bundar akan segera dilaksanakan di Den Haag

PDRI atau Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera memberi perintah kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX, untuk segera ambil alih pemerintahan dari tangan Belanda yang ada di Yogyakarta.

Hal tersebut bertujuan agar jadi bagian dari tercapainya kesepakatan dalam perjanjian Roem Royen. Akan tetapi ternyata pihak TNI menyambut hal ini dengan sikat penuh kecurigaan dan kewaspadaan.

Walaupun demikian supaya tidak perlu mengkhawatirkan mengenai perundingan atau perjanjian tersebut dan lebih fokus terhadap keamanan bangsa.

Biasanya kalangan TNI tidak bisa percaya begitu saja dengan isi atau pun hasil dari perundingan – perundingan yang telah dilakukan, karena tidak pernah memberikan keuntungan dan hanya memberikan dampak merugikan bagi Indonesia saja.

Untuk mempertegas amanat Jenderal Sudirman kala itu, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel A. H. Nasution memberikan perintah kepada para komandan lapangan agar bisa membedakan antara gencatan senjata dalam hal kepentingan politik dengan kepentingan militer.

Fakta Menarik Dalam Perundingan Roem Royen

Fakta Menarik Dalam Perundingan Roem Royen

Di bawah ini adalah beberapa fakta menarik yang ada dalam perundingan Roem Royen yang juga harus Anda ketahui, diantaranya sebagai berikut.

  • Setelah perjanjian Roem Royen pada tanggal 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibu kota sementara dari republik Indonesia
  • Tepatnya di tanggal 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian atau perundingan Roem Royen atau yang juga disebut dengan Roem Van Roijen, dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat seabgai presiden PDRI atau Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan mandatnya kepada Ir. Soekarno dan resmi mengakhiri keberadaan PDRI di tanggal 13 Juli 1949
  • Perundingan Roem Royen ini hasilkan gencatan senjata Belanda dan Indonesia dimulai dari daerah Jawa pada tanggal 11 Agustus dan di Sumatera pada tanggal 15 Agustus
  • Setelah perjanjian Roem Royen, terjadi konferensi meja bundar mencapai persetujuan mengenai seluruh masalah dalam agenda pertemuan, kecuali pada masalah Papua Belanda

Pasca Perjanjian Roem Royen

Pasca perundingan Roem Royen

Pada tanggal 1 Juli 1949, secara resmi pemerintahan republik Indonesia telah kembali ke Yogyakarta sebagai salah satu wujud dari keberhasilan sebuah perundingan Roem Royen tersebut. Lalu dengan kedatangan para pemimpin republik Indonesia dari medan gerilya.

Soekarno dan Hatta kembali lagi ke Yogyakarta dari pengasingannya pada tanggal 6 Juli, dan tanggal 10 Juli 1949 Jenderal Sudorman pun pada akhirnya tiba di Yogyakarta. Setelah pemerintahan republik Indonesia kembali ke Yogyakarta, di tanggal 13 Juli 1949 mulailah diselenggarakan sidang kabinet.

Yang mana dalam sidang tersebut presiden PDRI atau Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yakni Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya pada wakil presiden yang bernama Mohammad Hatta yang telah diterimanya sejak tanggal 22 Desember 1948, dan secara resmi mengakhiri masa jabatannya di PDRI.

Yang mana dalam sidang tersebut juga ditetapkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai mentri pertahanan juga merangkap pula jadi koordinator keamanan.

Kemudian di tanggal 3 Agustus, gencatan senjata antara kedua belah pihak, yakni antara Belanda dan Indonesia mulai diberlakukan. Awalnya dimulai di Pulau Jawa pada tanggal 11 Agustus dan di Sumatera pada tanggal 15 Agustus.

Dalam konferensi meja bundar sendiri tercapailah semua persetujuan mengenai semua masalah atau konflik di dalam agenda pertemuan, terkecuali masalah Papua Belanda.

Dampak Perundingan Roem Royen

Dampak perjanjian Roem Royen

Dengan disepakati perundingan Roem Royen ini pemerintah darurat republik Indonesia yang ada di Sumatera, kemudian memberi perintah kepada Sultan Hamengkubuwono IX untuk segera mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta jika Belanda mulai mundur dari kota tersebut.

Partai pertama yang menyatakan persetujuannya dan menerima dengan baik tercapainya perjanjian Roem Royen adalah Partai Masyumi. Sementara itu ketua umum PNI menyatakan perundingan tersebut sebagai satu langkah yang tepat ke arah tercapainya penyelesaian dari masalah – masalah Indonesia.

Pihak angkatan perang menyikapi terjadinya perundingan Roem Royen dengan perasaan curiga. Panglima besar Jenderal Soedirman pada 1 Mei 1949 memperingatkan kepada para komandan kesatuan supaya tidak terlalu memikirkan perjanjian tersebut.

Di tanggal 22 Juni 1949 diadakan diskusi perundingan bersama dengan BFO, Indonesia, dan Belanda mengenai kelanjutan perjanjian Roem Royen. Perundingan ini dibawah pengawasan komsisi PBB, yang mana hasil dari perjanjian Roem Royen tersebut diantaranya sebagai berikut.

  • Pengembalian pemerintahan republik Indonesia yang dilaksanakan tanggal 24 Juni 1949. Lalu karesidenan Surabaya mulai dikosongkan oleh tentara Belanda, dan tepat pada tanggal 1 Juli 1949 pemerintah Indonesia kembali ke Yogyakarta
  • Konferensi meja bundar diusulkan untuk dilaksanakan di Den Haag oleh Belanda
  • Masalah penyelesaian permusuhan akan dibahas secara mendetail setelah kembalinya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta

Hasil dari permusyawaratan yang dicapai tersebut nanti akan dicantumkan dalam sebuah meorandum. Demikian informasi yang bisa kami bagikan tentang sejarah, isi, dan dampak dari perundingan Roem Royen. Semoga bermanfaat.

Untuk konten dan artikel seputar pengetahuan umum lainnya baca disini

Originally posted 2018-12-27 13:34:30.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


The reCAPTCHA verification period has expired. Please reload the page.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.